Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1967), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan ilmu politik, namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1. What government can properly and successfully do?
2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.
Persoalannya sekarang adalah, mungkinkah para administror publik dapat menjadi tulang punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua versi. Dalam satu situasi, peran para administrator publik dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, seperti juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah berurusan dengan masalah dilematis bagaimana merekonsiliasi pertentangan antara budaya tradisional, kultur demokrasi baru dan industrialisasi sebagai usaha negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi persoalan tersebut, para ahli administrasi publik membantu para pengambil keputusan di Taiwan untuk menyelesaikan reformasi administratif yang kompleks dengan menggunakan pendekatan perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996).
Mengenai peran administrasi publik tersebut, O’Toole (1997) membuat kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan administrasi publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengenang Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa jika administrasi adalah inti dari pemerintahan, maka teori demokrasi harus pula mencakup administrasi.
Dalam situasi lain, administrator publik tidak dapat diharapkan menjadi katalisator proses demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di tempat lain, ketika rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada saluran institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya memperoleh input bagi proses perumusan dan pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melakukan proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik tidak kondusif bagi proses kristalisasi demokrasi, tetapi malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator bagi pelanggengan pemerintahan lama yang otoriter. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkah-langkah sistematik yang diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui pemilihan presiden secara langsung, namun terutama ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah agar dapat memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.
Description: Pengertian Administrasi Publik Dan Peranannya Dalam Demokratisasi Politik | Bahan Makalah1. What government can properly and successfully do?
2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.
Persoalannya sekarang adalah, mungkinkah para administror publik dapat menjadi tulang punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua versi. Dalam satu situasi, peran para administrator publik dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, seperti juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah berurusan dengan masalah dilematis bagaimana merekonsiliasi pertentangan antara budaya tradisional, kultur demokrasi baru dan industrialisasi sebagai usaha negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi persoalan tersebut, para ahli administrasi publik membantu para pengambil keputusan di Taiwan untuk menyelesaikan reformasi administratif yang kompleks dengan menggunakan pendekatan perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996).
Mengenai peran administrasi publik tersebut, O’Toole (1997) membuat kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan administrasi publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengenang Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa jika administrasi adalah inti dari pemerintahan, maka teori demokrasi harus pula mencakup administrasi.
Dalam situasi lain, administrator publik tidak dapat diharapkan menjadi katalisator proses demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di tempat lain, ketika rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada saluran institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya memperoleh input bagi proses perumusan dan pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melakukan proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik tidak kondusif bagi proses kristalisasi demokrasi, tetapi malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator bagi pelanggengan pemerintahan lama yang otoriter. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkah-langkah sistematik yang diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui pemilihan presiden secara langsung, namun terutama ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah agar dapat memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.
Rating: 5
Reviewer: 1020 ulasan
Item Reviewed: Pengertian Administrasi Publik Dan Peranannya Dalam Demokratisasi Politik | Bahan Makalah